Thursday, April 19, 2012

Tips Menghindar dari Pelecehan Dunia Maya

Tips Menghindar dari Pelecehan Dunia Maya - Tahukah Anda bahwa 1 dari 10 orangtua di dunia mengatakan anak mereka
pernah menjadi korban pelecehan dan penghinaan melalui dunia maya.
Berkisar 60 persen orangtua mengatakan cyberbullying dialami anak-anak melalui situs jejaring sosial seperti facebook, 42 persen melalui ponsel dan 40 persen melalui chat room. Demikian hasil survei yang dilakukan Ipsos, perusahan riset global yang didirikan di Perancis akhir tahun 2011 lalu.

Ipsos mensurvei sebanyak 18.687 warga di 24 negara, termasuk Indonesia.
Orangtua di Indonesia termasuk yang memiliki kesadaran paling tinggi
terhadap cyberbullying, menyusul orangtua di Australia, Polandia, Swedia, Amerika Serikat dan Jerman.

Cyberbullying

Selama ini kita sudah sering mengenal bullying, seperti
dikatakan Dr E Kristi Poerwandari, psikolog yang juga pendiri dan
pengurus Yayasan Pulih yang menangani intervensi trauma dan penguatan
psikososial, bullying dapat diartikan sebagai perilaku-perilaku
yang menunjukkan agresi, penundukan, perendahan, atau mencoba menekan
pihak lain seperti meledek berlebihan, bicara agresif, memanggil dengan
sebutan-sebutan yang tidak enak, dan komentar lain yang sifatnya
merendahkan.

Dalam cyberbullying, perilaku-perilaku tersebut berpindah ke dunia maya. Jadi cyberbullying
adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok anak secara sengaja
melakukan intimidasi, penghinaan, pelecehan, memberikan ancaman,
mempermalukan seorang atau sekelompok anak melalui media elektronik atau
media maya seperti situs jejaring sosial, chat room, blog, telepon seluler, atau perangkat komunikasi mobile lainnya.

Kristi menambahkan, terkadang saat anak menulis status di Facebook atau Twitter, mereka mungkin tidak menyadari kalau apa yang mereka tulis itu cyberbullying. Bahkan bisa jadi terlontar kalimat seperti ini, “Ah, ini kan sudah biasa, Ma. Cuma gini doang kok!”

“Di situ sangat mudah mereka membuat label-label kepada temannya yang lain. Si A nyebelin, si B nerd, si
C suka membuat kesal orang dan lain-lain. Kemudian mereka menganggap
hal itu menjadi wajar sebagai percakapan sehari-hari. Padahal tentu saja
itu tidak baik!” tandas Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ini.

Dampak pada Korban

Umumnya korban cyberbullying akan menunjukkan sikap kikuk, agak pendiam, dan ketika ditanya ia tidak bercerita terlalu panjang/detil.

“Jarang kita menemukan korban yang sangat terbuka. Mereka yang cenderung lebih outspoken
cenderung bicara atau menulis lebih frontal. Bahasa lisan maupun
tulisan cenderung sama dalam kehidupan sehari-hari, mungkin juga cara
menulisnya kikuk. Yang demikian lebih cenderung menjadi korban daripada
pelaku cyberbullying. Bahkan pada kasus-kasus khusus, sebagian dari korban bullying
bisa saja kedepannya akan menjadi pelaku kekerasan. Selain itu korban
akan rendah diri, kebingungan, penerimaan diri menjadi rendah dan merasa
inferior dibandingkan orang lain, semakin menarik diri, tidak fokus
pada tugas atau sulit berkonsentrasi. Akibatnya, secara umum prestasinya
menurun drastis,” terang Kristi.

Otoritas Orangtua

Lebih lanjut Kristi mengatakan, orangtua bukan hanya perlu menjadi teman
tapi juga tokoh otoritas bagi anak. Otoritas orangtua memberikan
perasaan nyaman pada anak, karena anak belajar dengan jelas mengenai apa
yang baik dan buruk, benar dan salah, pantas dan tidak pantas. Jadi,
orangtua perlu mengambil kembali otoritasnya, bukan dalam arti
mendisiplin anak secara kasar, tapi memberi kejelasan mengenai baik
buruk.

Hal ini penting karena bisa memberikan pembelajaran dan pengertian baik
buruk pada anak. Kuncinya, disiplin dengan kasih sayang, serta memahami
apa yang terjadi pada anaknya.

“Orangtua pasti terkejut jika mendapati anaknya dibully di
dunia maya oleh teman-teman anaknya. Dan ketika orang sangat kaget,
kecenderungannya apa? Ia akan marah! Orangtua kaget karena mereka sangat
mencintai anaknya, cemas, lalu berujung pada kemarahan. Itu adalah
bentuk respons yang paling umum, tapi sekaligus paling buruk! Pertama,
jangan lekas marah. Panik boleh, hanya saja jangan menampilkannya dalam
bentuk marah ke anak. Ketika panik, tenangkan diri dahulu, ambil napas
panjang, dekatilah anak ketika Anda sudah agak tenang. Bertanyalah
secara baik, yang membuat anak merasa nyaman. Jangan sampai anak merasa
seperti disudutkan. Bersikap sangat tenang, tetap menjadi tokoh otoritas
yang dapat memunculkan rasa aman untuk anak. Gali dulu faktanya dari
anak secara baik. Jika melibatkan teman satu sekolah, bicarakan secara
baik-baik dengan guru di sekolah, bagaimana agar dapat duduk bersama
dengan orangtua dari pelaku untuk mendapatkan win-win solution,” saran Kristi. (Sumber: Mom & Kiddie)

Rating: 5

Komentar Agan..!!

Silahkan Sobat Berkomentar atau Saran dan Kritik Silahkan sampaikan disini, Harap no spam, and no link. komentar akan dimoderasi dulu sebelum di tampilkan. semua komentar akan aproved, kecuali komentar yg masuk SPAM dan Komentar Kasar dan SARA. dan Terimakasih atas Kunjungan Sobat..

0 Responses: